TEMPO.CO, Jakarta - PT PLN (Persero) mencatat susut jaringan tenaga listrik di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara di kawasan Asia Tenggara lainnya. Pada 2019, susut jaringan (losses) nasional tercatat 9,37 persen. Adapun susut jaringan di negara tetangga, seperti Singapura, telah mencapai 2,02 persen, Brunei 6,41 persen, Malaysia 5,79 persen, Thailand 6,11 persen, dan Vietnam 9,29 persen.
Susut jaringan ini merupakan parameter efisiensi jaringan tenaga listrik yang akan berpengaruh terhadap biaya pokok penyediaan (BPP) maupun kebutuhan subsidi listrik. Semakin tinggi angka susut jaringan, semakin tidak efisien penyediaan listrik.
Direktur Bisnis Regional Jawa Madura dan Bali PT PLN (Persero) Haryanto WS mengatakan bahwa masih tingginya pencapaian susut tidak terlepas dari struktur pelanggan dan struktur jaringan kelistrikan PLN. "Dibandingkan utility best practice, kami dinilai tidak efisien. Ya memang. Akan tetapi ini akibat dari kondisi yang berbeda jauh dengan yang dihadapi mereka," ujarnya dalam webinar, Selasa 23 Februari 2021.
Dia menuturkan pencapaian susut turut dipengaruhi oleh konsumsi listrik per kapita. Di negara maju, konsumsi listrik per kapita tinggi dan pencapaian susut relatif rendah. Sedangkan di negara berkembang, konsumsi listrik per kapita masih relatif rendah dan pencapaian susut relatif tinggi.
Konsumsi energi per kapita yang besar pada suatu negara dipengaruhi oleh komposisi pelanggan industri dan bisnis daya besar, yakni penjualan segmen pelanggan tegangan tinggi (TT) dan tegangan menengah (TM). Komposisi pelanggan PLN lebih banyak didominasi oleh pelanggan tegangan rendah (TR) yang kontribusinya mencapai 61 persen, sedangkan pelanggan TM mencapai 32 persen, dan pelanggan TT hanya sebesar 7 persen.
Hal ini menyebabkan konsumsi energi per kapita Indonesia relatif rendah, yakni sekitar 972 kWh per kapita per tahun pada 2019, sehingga pencapaian susut lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju yang konsumsi listrik per kapitanya lebih besar.